Selasa, 23 Maret 2010

SERUAN HATI SEORANG GURU



Oleh : Dra. Megayati Aniwiasis Putri

Dalam tenangku menjelang tidur
Kuterawang warna tubuhku
Yang masih dibuai asa

Oh Bumi pertiwi
Hiruk pikukmu, pekak ditelingaku
Mengikis pelan idealismeku
Siapakah aku ?

Pelan mataku lelap dirangkul malam
Dan seketika terjaga
Saat suara lembut membangunkanku
“Selamat pagi Pak Guru, Selamat pagi Bu Guru.”

Ketika kita diminta bicara, banyak sekali hal yang ingin disampaikan. Tetapi, hal pertama yang terlontar pasti yang terlalu dalam menggores dipikiran kita, yang sudah terlalu lama mewarnai hidup kita.

Kalau saya boleh berbicara, saya sangat bersyukur terlahir sebagai seorang guru, yang sangat lekat dan kental dengan slogan dari bahasa jawa, Guru yang artinya digugu lan ditiru. Sangat hebat tentunya, kalau kita mendapat predikat tersebut. Namun sayang sekali, ternyata sulit sekali untuk kita mewujudkannya.

Digugu lan ditiru, kalau boleh saya artikan, sosok yang sempurna yang selalu menjadi tauladan, contoh, dan panutan dalam ucapan, tindakan dan sikap hidupnya. Baik secara pribadi, dalam keluarga, dalam organisasi atau instansi dimana dia bekerja, dan dalam masyarakat dimana dia tinggal, serta keteladanan itu bisa ditiru oleh siapa saja, dari kalangan mana saja, dan tentu saja yang eksesnya positif, itu pasti.

Wah…wah, saya akan acung jempol untuk semua Bapak dan Ibu Guru yang bisa mewujudkan pandangan saya mengenai seorang Guru.

Ketika saya memakai toga, rasa hati membuncah penuh warna dan idealisme, profesionalisme dan loyalitas, yang dengan serakah ingin sekali dilontarkan pada semua orang, “aku sanggup melakukannya”. Saya pastikan sebagian besar teman seprofesi, punya janji yang sama.

Sambutan “Selamat pagi, Pak Guru, Selamat pagi, Bu Guru,” , “Ini apa, Pak Guru ?, “Ini apa, Bu Guru ?”, yang keluar dari mulut-mulut kecil yang begitu hormat kepada saya, terbayang sangat jelas, keren khan ?.

Ternyata hidup tak seindah yang kita bayangkan, tidak seindah yang kita gambarkan, tidak selancar yang kita angankan.
Pernyataan ini memang klise, namun inilah kenyataannya. Karena memang saya sudah mencoba, selama 12 tahun saya mencoba. Bukan waktu yang singkat bukan ?.
ini menurut saya, dan suka-suka saya, Anda pasti sepaham dengan pendapat tersebut.
Satu saja contohnya, kemanusiawian seorang Guru. Dari sederet rutinitas pekerjaan seorang guru, misalnya bekerja keras menularkan ilmu, membentuk tunas-tunas bangsa agar menjadi manusia Indonesia yang berintegritas tinggi, santun dan lain sebagainya, tentu saja seabreg yang kita lakukan untuk itu.

Nah, saat kita melepas lelah dari kepenatan hidup, pasti sifat manusiawi kita akan muncul perlahan tapi pasti. Manusia yang ingin ini, ingin itu, manusia yang mendengar bisikan ini, bisikan itu.

Usaha sudah saya lakukan dengan mendahulukan kewajiban secara maksimal, dengan penuh tanggung jawab, disertai rasa ikhlas dan pasrah, bahkan cukup dinina bobokan dengan lagu yang berjudul “Pahlawan tanpa tanda jasa”. Tetap baik-baik saja. Tapi suatu saat muncul sifat manusianya. Timbul pertanyaan, sesuaikah hak yang sudah saya terima?. Disisi lain, guru harus tetap hidup, harus tetap makan, karena guru juga manusia.
Ya sudahlah, kita memang diajarkan untuk tetap bersyukur, walaupun menghadapi kebutuhan hidup yang menjerat leher.

Akan tetapi, lagi-lagi saya tersadar dari lamunan. Wah, mungkin dengan berprestasi, saya bisa mengantongi tambahan rejeki lain untuk mengisi periuk, dengan mengikuti seleksi guru teladan, guru berprestasi, uji kompetensi guru, ataupun ikut sertifikasi. Tapi lagi-lagi gagal maning-gagal maning. Memang semuanya karena keterbatasan. Kasihan memang nasib saya, nasib guru-guru seperti saya. Hal ini membuat saya terhenti menggapai idealisme sebagai seorang guru. Sedikit menelantarkan anak, korupsi waktu, untuk mencari pembelaan yang sah menurut saya.

Ternyata guru memang berbeda dengan profesi yang lain. Rasa kangen dengan wajah-wajah yang polos tak berdosa membangunkanku dari tidur, disertai gumanku, “Hai anakku, aku akan segera kembali !”, dan kemudian aku tersadar, inilah duniaku yang nyata. Aku terlahir sebagai seorang guru.

Rasa syukur yang ikhlas dengan membandingkan nasib saudara-saudaraku yang kurang beruntung, membuahkan hasil rupanya. Katanya, nya siapa ?. Entah, yang penting berita gembira telah datang, yang mengabarkan, bahwa gaji PNS termasuk guru mulai bulan Januari 2008 akan naik 20 %. Terima kasih saya ucapkan kepada siapapun yang telah ikut memikirkan nasib kami, baik dengan ataupun tanpa imbalan dari kami.

Akupun kembali berpijak pada duniaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar