Selasa, 30 Maret 2010

Homeschooling, Kembali ke Hulu


Oleh : Nita Ariyani *)

Sebuah rumah besar, bertaman luas, hening dan lembab. Musim hujan yang kusam menebalkan kisi-kisi jendela yang seolah menggigil kedinginan. Rumput basah melesak ke samping-samping dan terbenam dalam tanah berpasir ketika terinjak. Seorang perempuan setengah berlari menyeret gaun bergaya victoria yang basah tersiram hujan. Wajahnya berkerut namun tetap menunjukkan kecantikan perempuan Perancis dengan rambut ikal menjulur di keningnya. “Inggris”, gumamnya. “Negara suram yang sombong”, keluhnya lagi. Bibirnya yang indah sedikit mengecap air hujan yang menyentuh wajahnya. Bahkan dia tak tahu, bahwa sebuah drama akan mengubah pandangannya tentang Inggris pada saat dia melangkah ke teras rumah itu.
Perempuan itu, diperankan Sophie Marceau, adalah seorang guru dari Perancis yang jauh-jauh datang ke Inggris untuk mendidik dua orang anak bangsawan yang ibunya terbaring sakit. Sebuah gambarang tentang pendidikan sekitar abad 17. Sophie pun menjadi guru di rumah itu selama bertahun-tahun. Terlepas dari drama yang terjadi dalam cerita tersebut, pendidikan di rumah, ternyata merupakan cikal bakal dari bentuk pendidikan saat ini.
Di Indonesia, Kartini tidak ke sekolah, tapi seorang guru Belanda datang ke rumahnya dan memberikan bermacam-macam pelajaran kepada Kartini dan kakaknya. Sesudah melek pendidikan, barulah terbersit akal Kartini untuk memberikan pendidikan yang sama kepada bangsanya. Barangkali, itulah sekolah pertama di Indonesia, setidaknya sekolah pertama bagi perempuan pribumi. Maka konsep sekolah pun menjadi matang. Anak – anak negeri keluar dari peraduannya untuk bersekolah di tempat yang khusus. Mulai ada ruangan-ruangan kelas, ada guru dan ada murid, ada administrasi, ada biaya, dan puncaknya adalah massifikasi pendidikan formal (baca = sekolah) di tahun 70-an dengan berdirinya sekolah-sekolah inpres.
Lalu, seperti apa pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia saat ini ? Berbeda dengan pesantren-pesantren yang sudah banyak berdiri di Indonesia sejak abad 17, sekolah formal di Indonesia berjalan masih dalam bentuk mencari identitas. Namun sebagian stakeholders justru menganggap bahwa bentuk final dari sebuah konsep pendidikan ideal. Betulkah ?
Saat ini semakin banyak anak-anak keluarga bangsawan, hartawan, dan intelektual yang takut menyekolahkan anaknya di sekolah formal. Penyebabnya adalah jalanan macet dan rawan kejahatan, biaya sekolah semakin mahal, dan hasil pendidikan tidak memadai untuk bersaing di dunia global. Maka muncullah sekolah-sekolah alternatif yang mempunyai bentuk-bentuk pendidikan yang lebih luwes, adaptif dan inovatif.
Salah satunya adalah pendidikan di rumah. Pendidikan model begini ternyata merupakan awal terjadinya pendidikan normatif. Ada kurikulum standar yang diperkenalkan dan diterapkan. Pendidikan tentang sikap, nilai-nilai, teknik komunikasi dan logika adalah bagian tak terpisahkan homeschooling. Usia 4 tahun, seorang anak harus lulus toilet training. Guru akan mengajarkan bagaimana duduk atau jongkok di peturasan. Guru akan mengajarkan berdoa sebelum anak-anak tidur. Guru bahkan mempunyai cukup otoritas untuk mendidik orang tua yang belum tahu tentang kebaikan-kebaikan pendidikan. Prinsipnya, pendidikan di rumah melakukan modifikasi perilaku secara total dan terencana dengan cukup pengawasan terhadap anak didik. Totalitas tersebut membuat posisi guru menjadi sangat dihormati di jaman itu. Mendidik menjadi sebuah kegiatan menyenangkan dan nilai intrinsiknya menjadi lebih terasa dibandingkan dengan penghasilan finansialnya.
Homeschooling, karenanya tidak mempunyai standar kurikulum baku. Model homeschooling sangat fleksibel dan up to date. Guru dituntut untuk selalu belajar hal-hal baru. Dia juga adalah seorang ilmuwan yang dituntut mampu memprediksi masa depan. Dia juga ahli etika dan agama yang dapat memperkenalkan nilai-nilai luhur ketuhanan dan hubungan antar personal. Dia adalah ahli bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tubuh. Dia adalah matematikawan terpadu yang mendorong anak didiknya menghitung setiap kemungkinan dalam kehidupan nyata.
Dedy Corbuizer, si pesulap ternama, pernah mengatakan bahwa dia akan berhenti bekerja, ketika anak sudah memasuki usia sekolah. Dia akan mendidik anaknya sendiri. Anak seorang dosen ITB mengatakan bahwa dia terlebih dulu akan menjadi manusia sebelum mengerjakan hal lainnya. Dia tidak pernah sekolah formal. Gurunya adalah ayahnya sendiri. Ketika menekuk lututnya dengan anggun di depan Ratu Elizabeth, Steffi Graf tidak pernah melalui jejang sekolah formal. Seorang guru serbabisa selalu mengiringi tur-tur tenisnya sepanjang tahun.
Masalahnya, mungkinkah sekolah di rumah bisa dipraktekkan di Indonesia? Ketika harga sebuah ijazah lebih mahal daripada sebuah ketrampilan? Ketika formalisme pendidikan menjadi mata pencaharian jutaan orang?
Pendidikan luar sekolah (PLS) adalah jawabannya. Pemerintah Indonesia ternyata cukup cerdas menyediakan ruang bagi para pionir-pionir pendidikan non formal. Ketika seorang ayah yang mendidik anaknya sendiri sudah yakin bahwa anaknya mampu berdiri setara dengan anak “sekolahan” lainnya, maka Pendidikan Luar Sekolah menyediakan alternatif berupa ujian persamaan. Saat ini PLS mungkin seolah masih tempat sampah bagi masyarakat yang membutuhkan formalitas, namun di saat nanti bukan tidak mungkin fasilitas PLS ini akan menjadi paket bergengsi yang diburu orang.
Mengapa pendidikan non formal mulai menjadi wilayah alternatif bagi para pecinta pendidikan? Penyebab utamanya adalah pendidikan formal menjadi semakin lamban dan birokratik. Pendidikan formal tidak mampu menyentuh potensi-potensi personal, bahkan potensi itu cenderung terkubur karena tidak mendapatkan peluang untuk berkembang. Pendidikan formal cenderung sentralistik dan mekanik. Tidak ada ruang untuk heterogenitas. Hal itu bisa berarti menyurutkan semangat inovasi, kreativitas, dan dinamika intelegensi. Paling akhir, pendidikan formal akan menjadi sangat mahal dan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar