Oleh : Syamsir Alam
Sudah hampir satu dasawarsa memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan untuk menyusun dan merumuskan konsep kebijakan dan strategi yang solid dalam upaya mencerdaskan dan menyejahterakan warganya. Masih buruknya mutu pendidikan pada hampir semua jenis dan tingkatan pendidikan semakin menegaskan sinyalemen di muka. Semakin meningkatnya angka pengangguran anak-anak usia produktif yang diakibatkan dari rendahnya kemampuan dasar, keterampilan, dan keahlian menjadi cermin nyata bahwa bangsa ini masih menghadapi persoalan besar dalam bidang pendidikan.
Di lain pihak, kita selalu disuguhkan dengan berbagai prestasi beberapa siswa (few geniuses) pada berbagai perlombaan tingkat nasional dan internasional. Dari sejumlah prestasi itu, sayangnya pemerintah masih belum berhasil mengimbaskannya kepada siswa-siswa lain, baik secara masif maupun sistemis. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan hasil yang diperoleh beberapa siswa dari mengikuti berbagai ajang perlombaan bergengsi dan dengan biaya yang sangat mahal itu ternyata belum mampu membawa perubahan terhadap capaian belajar siswa (student attainment) secara umum. Seharusnya partisipasi dalam perlombaan itu dapat dijadikan bagian dari upaya pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang lebih bermutu dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah belum mampu menjadikan capaian pada berbagai ajang lomba itu untuk membangun dan meningkatkan motivasi belajar, menanamkan semangat dan daya juang (risk-taking) serta ketekunan (resilience) di kalangan siswa lainnya, sebaliknya pemerintah hanya berhenti pada kepuasan sesaat.
Harus diakui sistem pendidikan yang dibangun sejauh ini belum banyak berperan dalam membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara umum, lulusan pendidikan menengah masih belum dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat masuk pasar kerja (workplace), yang kondisinya sudah semakin terintegrasi dengan pasar global sehingga sangat kompetitif. Karena itu, upaya Depdiknas untuk kembali menggalakkan program pendidikan linking school and work melalui konsolidasi, intensifikasi, diversifikasi, dan ekspansi program pendidikan keterampilan (vocational skills) pada jenjang pendidikan menengah (SMK) patut untuk diapresiasi dan didukung. Namun, dukungan yang diberikan harus dalam semangat untuk menumbuhkan kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan memperkuat kemampuan dasar serta keterampilan teknis pada siswa sehingga mereka mampu menjawab tuntutan dunia kerja modern.
Kondisi SMK
Depdiknas dalam dua tahun terakhir melakukan conditioning guna meyakinkan masyarakat terutama siswa lulusan SMP agar lebih berminat memilih pendidikan kejuruan dalam menempuh karier pendidikan lebih lanjut. Upaya pemerintah memasang iklan layanan masyarakat di beberapa media cetak dan elektronik itu cukup baik, tapi dinilai masih terkesan responsif dan kagetan (hiccup) sebab kebijakan itu belum didukung kajian komprehensif dan mendalam yang melibatkan sejumlah departemen dan institusi terkait. Sebut saja tak pernah dijelaskan di mana posisi departemen tenaga kerja, industri, pertanian, pariwisata, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga profesional lainnya dalam pengembangan sekolah menengah kejuruan tersebut.
Pada akhir 1980, PTN pernah mensyaratkan siswa lulusan sekolah kejuruan harus memiliki nilai rata-rata 7,0 untuk dapat mendaftar dan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. PTN harus menetapkan persyaratan yang berbeda dengan siswa lulusan sekolah menengah umum (SMA) untuk menunjukkan bahwa peluang keberhasilan siswa lulusan kejuruan pada ujian masuk PTN sangat kecil apabila nilainya lebih rendah daripada yang dipersyaratkan (7,0). Informasi lain yang mungkin perlu juga diperhatikan, dalam suatu seminar yang diselenggarakan Pusat Pengujian Balitbang Diknas pada akhir 1980, pernah diungkapkan masa tunggu lulusan SMK sebelum mendapatkan pekerjaan sedikit lebih panjang jika dibandingkan dengan lulusan SMA.
Selanjutnya, dalam pekerjaan ternyata kemampuan belajar dan memahami instruksi siswa lulusan SMA lebih cepat jika dibandingkan dengan siswa lulusan SMK meskipun siswa lulusan SMK pada umumnya lebih baik dalam bidang keterampilan dan kemampuan teknis tertentu. Informasi itu tentunya perlu diuji ulang (diteliti kembali) mengingat perkembangan dan perubahan serta kemajuan manajemen pembelajaran SMK selama ini yang tentunya sudah banyak berubah dan meningkat lebih baik.
Menurut Asram Jr pemuda lulusan SMK swasta, Banyak lulusan SMK saat ini masih mengalami kesulitan dan frustrasi untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka. Pandangan yang menyebutkan usia mereka masih terlalu muda (immature) ditambah dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang belum memadai (inadequate knowledge and skills) sering menjadi kendala utama siswa lulusan SMK mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat mendukung karier dan kehidupan ke depan (future career path). Akibatnya, banyak lulusan kejuruan hanya mampu mendapatkan pekerjaan musiman dan tanpa kepastian kehidupan ekonomi (financial insecurity), jaminan sosial, dan kesehatan. Akibat selanjutnya, mereka akan kesulitan untuk berperan sebagai pribadi dewasa (responsible adults) yang mampu membangun dan membina kehidupan rumah tangga dan melakukan kewajiban kewarganegaraannya (civic duty) dengan naik.
Untuk mengatasi persoalan itu, Depdiknas seharusnya mulai melakukan berbagai kajian konsepsional dan empirik sehingga arah pengembangan (roadmap) sekolah kejuruan ke depan dapat menjadi lebih jelas dan terukur. Depdiknas seharusnya mengkaji dan merumuskan kembali kebijakan yang berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan sekolah kejuruan, mengidentifikasi dengan tepat berbagai keterampilan (vocational and thinking skills) yang sangat dibutuhkan dunia industri dan jasa pada abad ke-21 sekarang ini, revisited kurikulum dan implementasinya di lapangan guna menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan teori pembelajaran terkini.
Selanjutnya, Depdiknas dapat lebih dahulu meneliti kecenderungan dan perkembangan industri nasional dan global termasuk benchmarking yang digunakan dan dapat membangun kemitraan strategis dengan sejumlah perusahaan dan lembaga profesi yang sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan mendasar baik berupa assessment, appraisal, ataupun feasibility studies tersebut mutlak diperlukan sebelum sebuah kebijakan dilaksanakan secara nasional.
Pembangunan sekolah kejuruan haruslah diarahkan pada kebutuhan kekinian. Dunia saat ini dilanda krisis pangan dan energi. Krisis itu dipandang akan berlangsung lama dan menyerang semua negara, baik kaya maupun miskin. Sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, bangsa ini diharapkan dapat menyejahterakan rakyatnya dan menyumbang untuk kemakmuran masyarakat dunia. Untuk mewujudkan keinginan mulia di muka, Depdiknas harus cerdas dan cermat dalam menentukan pilihan pendidikan keterampilan yang akan ditawarkan. Setiap bidang keahlian yang dipilih haruslah diarahkan dalam rangka menyiapkan individu siswa untuk dapat menjawab persoalan kekinian, memahami relevansi dan keterkaitannya dengan bidang lainnya, serta menyiapkan mereka dalam menghadapi arus perubahan yang begitu cepat dalam bidang ekonomi, teknologi, politik, dan sosial-budaya.
Seluruh program pendidikan kejuruan yang dikembangkan hendaknya didasarkan pada upaya menyiapkan peserta didik agar mampu menjawab kebutuhan kekinian (immediate needs) terutama dalam bidang pertanian/pangan, kelautan, kehutanan, energi, dan pertambangan. Selanjutnya, program pendidikan kejuruan hendaknya juga dapat mendukung pembangunan bidang transportasi, manufaktur, jasa perhotelan, travel, restoran, kesehatan, asuransi, mikroekonomi, dan perbankan. Sementara itu, ICT, animasi, dan desain grafis juga layak untuk mendapat prioritas mengingat semakin pesatnya kemajuan dan pertumbuhan industri dalam bidang tersebut.
Pilihan program bisa sangat luas dan beragam. Karena itu, Depdiknas harus dapat melihat dan menilai kemampuan daerah, khususnya dalam menyediakan sarana belajar yang memadai, sumber daya kependidikan yang andal, dan prospek penyediaan lapangan pekerjaan baru bagi siswa lulusan sekolah kejuruan. Desain program hendaknya dapat disesuaikan dengan arah dan perkembangan pembangunan wilayah. Kehadiran SMK hendaknya dapat memberi nilai tambah ekonomi dan dapat mendukung pembangunan wilayah tersebut. Dengan tersedianya sumber kehidupan berupa lapangan pekerjaan yang baik, program itu diharapkan akan dapat meminimalkan arus migrasi dan urbanisasi angkatan kerja usia muda.
*) Konsultan Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar