Minggu, 13 Maret 2011
Keteladanan Yang Bertanggung Jawab
Anak-anak bisa diibaratkan sehelai kertas putih yang masih kosong. Lingkunganlah yang memberi warna pada kertas putih tersebut. Mereka memiliki ketergantungan yang tinggi, membutuhkan pertolongan, perlindungan serta rasa aman. Saat ini anak-anak mengalami krisis keteladanan. Hal ini terjadi karena sedikitnya mass media yang mengangkat tema tentang tokoh-tokoh teladan bagi anak-anak. Tayangan-tayangan televisi misalnya, didominasi acara hiburan dalam berbagai variasinya, acara sinetron atau acara gosip selebriti tidak dapat diharapkan memberikan contoh kehidupan yang baik secara utuh.
Menurut Riyo, S.Pd, dalam kondisi krisis keteladanan ini, keluarga dan sekolah menjadi basis penting bagi anak untuk menemukan keteladanan. Maka ayah dan ibu serta guru menjadi figur-figur pertama bagi anak untuk memenuhi kebutuhan ini. “Menurut saya, keteladanan dalam mendidik anak itu sangat penting, karena dapat memberikan dampak positif yang baik bagi perkembangan mental dan psikis anak. Oleh karenanya kita sebagai orang tua mesti memiliki kesadaran untuk menjadi pribadi teladan dalam proses pembentukan akhlak anak”, katanya.
Dijelaskan Guru SD Negeri Bulu 02 Banyuputih ini, bahwa keteladanan merupakan syarat utama dalam suatu proses pendidikan. Tidak ada makna pendidikan jika tidak ada keteladanan. Pendidikan memiliki tiga proses yang saling kait mengait dan saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain. Pertama, sebagai proses pembentukan kebiasaan (habit formation). Kedua, sebagai proses pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan ketiga adalah sebagai proses keteladanan yang dilakukan oleh para guru (role model).
Di samping itu, ditambahkan pria kelahiran Batang, 12 Desember 1967 ini, juga ada tiga syarat penting dalam proses mendidik dan mengajar yang pertama adalah cinta, kedua adalah kepercayaan, dan ketiga adalah kewibawaan. Ketiga syarat ini saling mempengaruhi dan saling kait mengait. Cinta akan menimbulkan kepercayaan. Seterusnya, kepercayaan akan menghadirkan kewibawaan. Kewibawaan adalah kemampuan untuk dapat mempengaruhi orang lain. Kewibawaan akan lahir jika ada kepercayaan. Kepercayaan akan muncul jika ada keteladanan.
“Ketika orang tua atau guru mengenalkan sopan-santun, maka sebaiknya mereka tak hanya memberikan nasehat atau perintah, tapi juga contoh nyata. Tanpa contoh nyata atau keteladanan, perintah ataupun nasehat tidak akan bertahan dalam waktu lama. Apalagi yang ingin ditanamkan pada anak berupa nilai-nilai moral atau etika dan nilai keagamaan. Sejatinya saat berkenaan dengan nilai agama, nilai moral atau etika memang tidak cukup jika orang tua dan pendidik hanya cuma memberikan petuah dan perintah saja. Anak-anak memerlukan dukungan yang lebih penting, yakni keteladanan agar setiap nilai yang hendak disampaikan menjadi lebih bermakna”, paparnya.
Tak hanya itu, suami dari Sutita dan ayah dari Pradita Anggriyanto ini juga menegaskan, dari semua hal yang perlu diajarkan kepada anak, unsur keteladanan dari orang tua berada di posisi teratas.
“Anak-anak di usia dini akan mudah meniru apa pun yang dilihatnya. Jadi, ketika orang tua menerapkan perilaku terpuji dan bertutur kata yang halus, itu sudah merupakan permulaan pendidikan etika kepada anak-anak,” kata dia.
Dikaitkan dengan tugas Pendidik, sejatinya ada dua tugas utama para pendidik yang harus melekat dalam proses pendidikan, yaitu transformasi ilmu dan transformasi nilai. Tidak seimbang jika suatu institusi pendidikan hanya mengisi dimensi intelektualnya semata, namun mengabaikan dimensi emosional dan etika peserta didik. Untuk itu, para pendidik selain cerdas dan trampil dalam mentransfer ilmu pengetahuan sekaligus menjadi sosok “yang digugu dan di tiru”. Seorang pendidik yang tidak memiliki dimensi keteladanan akan menjadi sosok yang tidak mendapat rasa simpatik dari anak didiknya, tetapi bisa menjadi justru sebaliknya mendapat cemooh dari anak didiknya.
“Ada pepatah yang mengatakan, Kalau gurunya kencing berdiri maka muridnya kencing berlari itu adalah sebuah gambaran bahwa dari diri seorang pendidik sangat diperlukan sebuah transformasi nilai. Alangkah naifnya dan kontradiktifnya jika seorang pendidik melarang anak didiknya berkuku panjang sementara sang pendidik berkuku panjang. Alangkah antagonisnya jika orang tua menyuruh anaknya shalat, sementara orangtuanya tidak shalat. Sedangkan proses belajar-mengajar harus mencakup tiga ranah pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, konsep pendidikan di Indonesia cenderung mengarah pada ranah kognitif, sedangkan ranah afektif dan psikomotorik ditempatkan pada peran sekunder. Untuk itu pendidik secara terus-menerus harus diberi pemahaman bahwa nilai-nilai kehidupan tidak bisa begitu saja diajarkan, tetapi harus disertai keteladanan oleh pendidik itu sendiri,” katanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar