Senin, 14 Maret 2011

NATION CARACTER BUILDING WITH “SOFT SKILLS”


Oleh: Muhammad Iqbal Birsyada

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 dikatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlaq mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dengan pendidikan diharapkan, peserta didik mengetahui akan segala kelebihannya yang berpotensi untuk meningkatkan kualitas hidup lebih baik dari sebelumnya. Pakar pendidikan Gagne dan Berliener menyatakan bahwa belajar merupakan proses dimana suatu organisme mengubah perilakunya karena hasil dari pengalaman.

Fakta dilapangan yang ada yaitu Sistem pendidikan nasional kita masih jauh dari apa yang tercantum dalam dalam pesan teks yuridis Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional diatas. Beberapa hari yang lalu pengumuman hasil ujian nasional tingkat SLTA baru saja di umumkan. Sangat mengejutkan ketika Kementrian pendidikan nasional besert Diknas memberikan statement bahwa lulusan UAN SLTA pada tahun 2010 kali ini mengalami sedikit penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, akan tetapi dalam segi kejujuran mengalami peningkatan.

Lagi-lagi model pengukuran standar pendidikan nasional kita perlu dipertanyakan. Ketika Mahkamah Agung menolak perihal diberlakukanya nilai Kelulusan peserta didik dengan hanya menggunakan satu indikator yaitu hasil UAN, disisi lain kementrian pendidikan nasional beserta jajaranya seakan memaksakan kehendak rakyat dengan bersih kukuh menerapkan standar Kelulusan dengan indikator UAN. Proses pengalaman belajar 3 tahun di SLTA hanya ditentukan dalam waktu kurang dari 6 hari dengan menerapkan UAN. Realita dilapangan hampir semua siswa yang akan menghadapi UAN mengalami “minder syndrome” atau ketakutan ketika menjelang ujian Nasional. Faktanya banyak ditemukan isu-sisu soal bocor, jual beli kunci jawaban, uji coba soal ulangan, semua ini berjalan seakan dengan sistematisnya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Sistem Pendidikan Nasional kita masih saja bertumpu dengan angka-angka kuantitatif dengan lebih menekankan pada “hard skill” anak. Sebagai contoh yaitu anak dikatakan cerdas dan pandai ketika nilai angka matematika-nya 9, IPA 9, IPS 9 sehingga akan mendapatkan juara kelas. Penguasaan pelajaran yang seperti inilah yang dimaksud dengan “hard skills” dalam dunia pendidikan dinamakan unsur-unsur kognitif. Disisi lain mata pelajaran yang bersifat religius yang menanamkan nilai “soft skills” atau kecerdasan emosional anak seperti agama dan budi pekerti, kepemimpinan, sikap, kejujuran tidak diuji secara nasional. Hasilnya Aspek afektif pun tidak terjangkau dalam sistem penilaian UN tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1V, Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.

Penulis berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional seperti yang telah di Undang-undangkan diatas tidak pernah akan tercapai ketika alat ukur Kelulusan masih saja menggunakan UAN (Ujian Akhir Nasional). Yang terjadi adalah institusi pendidikan hanya mencetak robot-robot yang cerdas tanpa dibekali dengan nilai-nilai keagamaan,kepemimpinan, sikap, kejujuran, budi pekerti, patriotisme (nilai-nilai soft skills) yang kuat. Padahal kenyataan dilapangan kunci sukses seseorang terletak pada penguasaan nilai- nilai “soft skills” yang kuat hingga mencapai prosentase 90%.

Nilai-nilai “soft skills” ini sangat berpengaruh terhadap model kepemimpinan seseorang, kerja keras dan sikap karakter anak. Sebaliknya jika nilai-nilai “hard skills” (nilai-nilai kecerdasan kognitif) yang dapat dilihat dengan nilai angka-angka yang kuat, disisi lain nilai etika, sikap, karakter kepribadian yang lemah maka akibatnya akan menghasilkan “output” produk peserta didik yang tidak ubahnya seperti robot tanpa ruh jiwa caracter building yang kokoh. Hal ini berakibat ketika anak sudah menjadi dewasa akan cenderung melakukan penyimpangan-penyimpangan sosial, contoh KKN, penyuapan, kriminalitas dan penyimpangan lainya.

Hal ini terjadi karena sistem pendidikan nasional kita tidak bertujuan membentuk “character building” anak yang berakhlak mulia. Pendidikan nasional kita hanya mentargetkan angka-angka Kelulusan dengan standar UAN (ujian nasional) yang sama sekali tidak memanusiakan peserta didik. Mestinya, persoalan etika atau akhlak terpuji, kepemimipanan, sikap — terutama kejujuran — mendapat porsi perhatian besar karena nilai-nilai termasuk nilai “soft skills“ atau kecerdasan emosional anak. Meskipun UN menilai aspek kognitif siswa, namun sebenarnya bisa dijadikan sebagai ajang untuk menguji kejujuran, baik terhadap siswa, guru, pengawas, tim independen, kepala sekolah, termasuk pemerintah.

Ketidak jujuran sumberdaya manusia kita akibat nilai “soft skills”yang sangat rendah punya andil besar membuat bangsa ini terpuruk. Maraknya kasus korupsi dan mafia hukum hakikatnya juga berawal dari ketidakjujuran. Mestinya sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik siswa berakhlak mulia, berkarakter jujur dan berkarakter kebangsaan yang kuat. Hal inilah sebagai bukti bahwa sistem pendidikan nasional dengan penerapan indikator Kelulusan menggunakan UAN mengalami kegagalan. Karena sama sekali tidak menyentuh nilai-nilai afektif, psikomotorik, emosional dan “soft skills” peserta didik untuk menjadikan manusia yang berkarakter berkepribadian bangsa serta berakhlak mulia. Seluruh rangkaian proses pembelajaran di sekolah seyogianya didesain sedemikian rupa untuk mendidik siswa peserta didik secara seimbang antara aspek kognitif, afektif (sikap dan perilaku) yang berkarakter.

Kepala Sekolah Homeschooling Kak Seto Semarang

Alumni SMA Negeri 02 Batang

Direktur Lembaga Pusat Studi Ilmu-Ilmu Pendidikan Sosial Dan Sejarah

Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar