Minggu, 13 Maret 2011

Penghinaan dan Ketulusan


Oleh : Widodo Budi Wiharso
Andaikan anda mendapatkan penghinaan apakah kiranya yang akan dilakukan? Mungkin anda akan marah, menggerutu, memaki-maki, atau mungkin menantang berkelahi. Mungkin anda akan diam saja tetapi mengancam dari belakang, atau mungkin juga mediamkan penghina untuk selama-lamanya. Itulah reaksi dan realisasi bentuk dari emosi anda. Apakah anda termasuk orang yang bisa mengendalikan emosi? Bagaimana jika saya yang dihina?
Ada beberapa hal yang mungkin dapat saya lakukan, mengingat semua orang sesungguhnya bisa berbuat sewenang-wenang. Mungkin saya akan melakukan sabotase, teror, tenung, memasukkan dalam daftar hitam sebagai orang berbahaya, menghancurkan perekonomiannya dan sebagainya.. Tapi saya tidak akan melakukan itu. Karena saya memiliki keyakinan bahwa perlakuan apa pun terhadap saya secara otomatis akan kembali pada dirinya. Dan perlakuan apa pun pada orang lain akan kembali pada diri sendiri.
Dengan demikian saya tidak perlu repot jika mendapat penghinaan atau perlakuan tidak senonoh. Saya akan tetap diam seolah-olah tak peduli. Jika terasa sakit, saya hanya akan merintih dalam hati “Tuhan jika memang benar saya salah hukumlah saya, tetapi jika dia yang salah berilah pelajaran padanya.”. Saya tak perlu membalas, tidak perlu dendam sehingga tidak membuang energi dan menegangkan saraf. Anehnya setiap rintihan itu sering menjadi kenyataan.
Hal itulah mungkin yang menyebabkan saya menjadi optimis, rileks, dan tidak memiliki rasa takut terhadap sesama dan tidak perlu dendam. Saya selalu belajar menerima keadaan apa pun. Dan kondisi apa pun dalam hidup ini memiliki hikmah, nilai seni tersendiri dalam perjalanan hidup yang harus dihayati. Dan kehidupan di dunia ini bukan hanya terdiri atas manusia tetapi masih ada makhluk lain. Kita hidup bukan sendiri.
Saya meyakini kehidupan ini sudah ada yang mengatur, melindungi dan memberi. Karena yakin, maka keyakinan itu akan menjadi nyata. Saya bukan tipe berpengharap dalam kehidupan tapi pelaksana, penikmat, dan penghayat kehidupan. Namun saya masih memiliki rasa suka dan tidak suka, benci dan senang, sakit dan bahagia, berpikir dan berpendapat, juga lapar dan dahaga sehingga emosi pun kadang hadir. Maklum saya bukan nabi.
Andaikan nabi mungkin saya tak akan berlaku seperti itu. Menurut riwayat, jika Nabi mendapatkan penghinaan atau pun perlakuan tidak senonoh malah akan tersenyum, bahkan mendoakan agar pelakunya menjadi insaf. Tapi saya dilahirkan sebagai manusia biasa dengan software sebagai manusia biasa yang hatinya tidak sebersih nabi. Maka mungkin wajarlah jika memiliki prilaku dan kesabaran tidak seperti nabi. Penghinaan itu memang menyakitkan tapi kadang penghinaan itu dapat membuat seorang berpikir untuk melepaskannya. Jika saya dikatakan dasar miskin, akan berpikir bagaimana caranya agar tidak miskin lagi. Sehingga saya belum tentu akan miskin selamanya. Demikian juga jika seseorang dikatakan bodoh tidak selamanya orang ini akan bodoh. Seiring berjalannya waktu orang yang dikatakan bodoh itu akan berusaha untuk menghindari prilaku bodoh dan menjadikan orang yang mengatakan dirinya bodoh itu menjadi bodoh. Tidak semua orang yang dikatakan bodoh lantas akan menjadi bodoh sebagaimana teori pembelajaran pada akhir-akhir ini mengingat manusia itu unik dan tidak memiliki kesamaan kecerdasan pikir dan emosinya.
Penghinaan tidak selamanya menjadikan orang menderita. Penghinaan itu justru merupakan support atau dorongan untuk maju. Banyak orang yang berhasil hidupnya itu karena semula mendapatkan penghinaan dan penderitaan bertubi-tubi. Tidak selamanya anak yang berasal dari orang kaya, berkecukupan, bebas dari penghinaan dan penuh kemanjaan akan menjadi anak sukses. Tetapi banyak anak yatim dan anak-anak lain yang lebih menderita justru kadang menjadi orang yang mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya dan juga sukses. Penderitaan ini justru kadang menjadi sarana pendidikan tersendiri yang dapat menempa prilaku dan etika seseorang menjadi tangguh. Dalam kenyataan banyak anak- anak yang hidup dalam keluarga yang terpandang, berkecukupan menjadi lupa diri, dan bahkan ada yang hamil muda di luar nikah sehingga pendidikannya secara keseluruhan menjadi terganjal.
Untuk itu bersyukurlah terhadap orang yang mendapat penghinaan atau perlakuan yang tidak senonoh dari orang lain karena hal itu dapat menjadi pemicu dan pendorong yang kuat untuk melakukan perubahan. Semakin penghinaan itu semakin menyakitkan maka akan semakin memiliki energi yang tinggi untuk bangkit dan maju. Dan waspadalah bagi penghina karena energi gelombang pikir bagi orang yang terhina akan bersinergi dengan Tuhan dan makhluk lain yang akan membalikkan fakta sehingga penghina pada akhirnya akan berbalik menjadi terhina.
Sebagai contoh adalah seorang ratu ngebor Inul Dharatista yang sekarang menjadi seorang kaya raya melebihi guru SD. Saya kira dulu juga tidak lepas dari banyaknya penghinaan itu yang ia jadikan sebagai energi super untuk bangkit. Dan sekarang bagaimana kenyataannya? Penghina-penghina itu tak bisa lagi menghina dirinya dan malu untuk menghina diri sendiri.
Contoh lain adalah seorang Honda dari Jepang yang ketika itu hanya memiliki bengkel sepeda yang sering diperolok-olokkan kemiskinannya. Dari penghinaan itu Den Bagus Honda berpikir keras agar bisa menjadi orang kaya dengan cara membuat sepeda motor. Percobaan dilakukannya berulang-ulang tapi apa yang dilakukan oleh banyak orang? Ketika belum berhasil banyak orang yang menyepelekannya. Tetapi setelah percobaan itu berhasil apakah kira-kira yang dilakukan oleh orang-orang yang telah menghinanya? Keberhasilan seorang Honda tidak lepas dari penghinaan, pencemoohan dan pelecehan. Tapi bagaimanakah seorang Honda sekarang? Mungkin anda pun memiliki produk dari Honda.
Hati-hatilah dalam melakukan penghinaan mengingat hal itu bisa menjadi bumerang. Penghinaan kadang perlu dilakukan pada seseorang sepanjang itu terukur dan dapat menjadikan motivasi intrinsik yang kuat agar melakukan perubahan. Jika penghinaan diberikan seseorang di luar kontrol maka penghina pada posisi yang lemah tidak mendapat perlindungan dari siapa pun termasuk Tuhan sehingga mudah terjebak dan mudah diserang balik. Orang yang terhina adalah orang yang mempunyai posisi yang sangat kuat karena lebih sering melakukan perenungan terhadap nasibnya dan mendekatkan diri pada Tuhan sehingga terkabul do’anya.
Do’a mengandung energi kebatinan yang sangat berpengaruh pada sebuah objek dan sulit untuk dinalar. Untuk itu jika tidak bisa meramalkan nasibnya sendiri maka tidak usah meramalkan nasib orang lain, mengingat setiap orang banyak memiliki peluang kelemahan yang menjadikan sangat tipis antara batas hidup dengan kematian dan antara nasib buruk dengan keberuntungan.
Lain itu paksaan kadang juga dapat mendidik seseorang ke arah tujuan pendidikan. Paksaan yang dimaksud adalah paksaan yang dapat menimbulkan refleksi atau perenungan nilai moral. Hal ini pernah berlaku pada pendidikan Budha pada sebuah padepokan yang terjadi ketika seorang murid meminta gurunya untuk mengajari agar dapat memanah dengan tepat. Mendengar permintaan muridnya itu sang guru mengajak muridnya ke sungai dan membenamkan kepalanya ke dalam air lalu menekannya kuat-kuat. Mendapat perlakuan itu sang murid berusaha melawan tekanan sang guru dengan sekuat tenaga sampai akhirnya bisa menghirup udara. Ketika itu murid bertanya “ Kenapa guru memperlakukan saya seperti itu?” Sang guru menjawab, “Jika kamu ingin memanah dengan tepat maka berusahalah dengan sekuat tenaga sebagaimana usaha kamu membebaskan diri dari benaman air.”
Bagaimana dengan hukuman? Menurut saya hukuman juga dapat dijadikan sebagai alat dalam pendidikan. Dengan hukuman seseorang akan berusaha merenungi, dan menyadari kesalahannya, lalu memperbaikinya, meski tak berlaku pada semua orang. Sebab masih ada penjahat yang bebas dari hukuman, namun setelah bebas masih melakukan kejahatan lagi. Dan juga tidak semua hukuman akan bisa menjadi alat pendidikan. Hukuman yang dimaksud adalah hukuman yang terukur, terpikir oleh akal yang sehat dengan tujuan agar terhukum bisa memperbaiki prilakunya tanpa ada penyiksaan. Bukan hukuman yang didasarkan oleh emosi sesaat, dan dendam. Apalagi hukuman yang berdasarkan fitnah. Hukuman seperti ini adalah hukuman seseorang yang berjiwa arogan atau oleh guru yang pola pikirnya belum dewasa yang akan menjadi bom waktu.
Jika dihubungkan dengan teori pendidikan kita yang digemborkan akhir-akhir ini maka penghinaan, paksaan, hukuman sepertinya kurang sesuai. Teori pendidikan kita sekarang ini sedang mengkampanyekan pendidikan Pakem (Pendidikan aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Teori ini kita dengar disetiap penataran, pertemuan KKG, dan pertemuan lain sampai-sampai seolah-olah sudah tak ada teori lain. Namun sayangnya pembawa makalah jarang menyampaikan teori ini dengan contoh praktek nyata. Mereka menyampaikannya menggebu-gebu hanya berupa teori atau hanya sebagai pemilik teori yang kadang-kadang jauh dari kenyataan sehingga guru itu merasa kebingungan sendiri.
Apakah teori hanyalah teori? Teori mungkin tidak bisa dipraktekkan. Tapi teori mungkin bisa dijadikan acuan untuk melaksanakan praktek. Karena teori tidak selamanya cocok pada setiap situasi. Perbedaan tempat, perbedaan waktu, perbedaan suasana, perbedaan SDM, perbedaan kepemimpinan, perbedaan budaya masyarakat, perbedaan karakter akan mempengaruhi ketidaksesuaian itu.
Namun apakah teori hanya cocok untuk dijadikan sebagai komoditi dalam mendapatkan sesuatu yang bersifat matrialistis dengan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat. Memang tidak selamanya teori yang cocok di suatu tempat akan sesuai di tempat lain. Tapi semua itu tergantung siapa?. Kita masih ingat ketika ngetrennya teori pembelajaran sistem CBSA. Penataran-penataran dilakukan di mana-mana. Setiap sekolah seolah disyaratkan untuk mengikuti sistem itu. Namun lama-kelamaan hal itu hilang lagi sehingga teori itu muncul dan hilang seperti hangatnya kotoran ayam.
Kemudian muncul lagi MBS yang dipelopori oleh sebuah SD di Magelang. Pada saat itu seluruh guru SD dianjurkan untuk mengikuti Studi Banding ke sana agar bisa melihat langsung proses pembelajaran, tetapi bagaimanakah kenyataan pada akhirnya? Belum puas dengan hal itu ada pihak yang mengkordinir iuran per SD untuk menghadirkan para pakar MBS dan membentuk semacam penataran fulltime dua hari dua malam lalu apa hasil akhirnya? Sekarang muncul lagi paikem, besok muncul lagi ponikem, dan lusa pokinah. Mungkin itukah bukti pendidikan kita yang dinamis? Apakah pakem model pembelajaran baru sudah teruji dan sesuai di seluruh tempat? Apakah itu bukan sistem pembelajaran lama yang mengalami mimikri dengan gonta-ganti nama dan istilah yang dicipta demi ketenaran, promosi jabatan, pembobolan uang Negara, agen percetakan agar bukunya berganti ganti, atau demi hal lain? Mungkin bukan. Saya berharap teori-teori itu hadir bukan untuk hal seperti itu. Tapi saya berharap teori pembelajaran yang terbentuk lebih berdasarkan pada ketulusan dan bisa menambah wawasan bukan sebagai program yang membuat semuanya harus taklid dan melupakan teori-teori pembelajaran yang bisa digali dari potensi guru itu sendiri.
Sistem pendidikan kita tidak akan berbentuk jika sistem itu dibangun bukan didasarkan pada sebuah ketulusan dari akal yang sehat dan berwawasan luas. Pendidikan itu akan selalu berubah dan sulit dikenali oleh guru sebagai pelaksana jika pendidikan itu dibangun berdasarkan kepentingan sesaat seperti perang jabatan, perang popularitas, perang inkam, perang gelar yang menyusup seperti virus. Guru tidak punya kesempatan untuk memahami sistem itu karena setiap kali pemahaman hampir dimiliki saat itu juga diikuti munculnya sistem baru dengan istilah baru atau lama yang dibolak-balik.
Saya bukan tidak setuju dengan teori -teori yang popular itu, tapi sebenarnya bukan hanya itu yang harus ditanamkan kepada guru, digembar-gemborkan seolah-olah guru tidak memiliki peluang untuk memiliki teori sendiri berdasarkan praktek yang sesuai situasi yang dihadapi. Dalam sebuah KKG perlu dikembangkan dan digali teori-teori yang lain yang tidak harus taklid dengan teori hasil dari penataran atau teori-teori impor mengingat pendidikan kita sudah berlangsung sejak zaman penjajahan. Kalau toh hasil penataran hendak disampaikan, saya kira cukup sekali jika mau dua kali atau tiga kali tapi berupa hasil pengembangannya. Sebab sesungguhnya jika guru menghayati, menjiwai, dan tulus dalam menjalankan profesi bukan hal yang sulit untuk mengembangkan dan mendapatkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Yang lebih fatal adalah penyampai makalah atau teori namun dalam prakteknya justru tidak menjalankan teori itu. Sehingga pendidikan pada akhirnya akan kacau. Prinsip pendidikan yang semula ing ngarso sung tuladho ing madyo mangun karso berubah menjadi ing ngarso sung suloyo ing madyo mangun suloyo.
Rasanya kita juga perlu bercermin pada guru ngaji yang selama ini menggunakan sistem pengajaran tradisional, yang tidak digaji, yang fasilitasnya tidak secanggih kita namun dalam kenyataannya mereka bisa mengajari membaca Al-Quran dengan fasih. Tapi kita yang memiliki murid sekitar 20 dalam setahun belum tentu semuanya dapat membaca. Padahal metode mereka sederhana dan klasik. Kenapa? Karena ketulusan kita kalah dengan mereka
Pendidikan kita sesungguhnya membutuhkan ketulusan. Ketulusan itu berdasarkan komitmen yang abadi bukan didasarkan kepentingan pribadi, golongan, kelompok atau kepentingan lain yang bersifat materi dan sesaat. Ketulusan itu muncul dari penjiwaan, kesadaran akan tugas, komunikasi batin dengan peserta didik dan kedekatan diri pada sang Khalik. Tanpa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan ketulusan akan sulit dilakukan.
Hal ini sudah banyak terjadi dan bisa dibuktikan pada diri kita. Berapa persenkah waktu kita konsen pada bidang pendidikan? Mungkin anda akan menjawab 80% atau 100%. Tapi jika mau jujur tidak sampai sedemikian, mengingat seringnya jasad dan pikiran kita berada tidak dalam satu tempat. Sering tubuh kita berada di dalam kelas tapi pikiran kita berada di rumah atau di tempat bisnis lain. Kurangnya ketulusan itu menjadikan guru tidak niat dalam mengajar, datang terlambat, lebih suka ngobrol di kantor atau bermain game. (Opo iyo?)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar