Memasukkan Aspek Spiritual
dalam Konsep Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Di Sekolah Dasar
Oleh : Widiastuti Sri Rejeki,S.Pd *
Abstrak :Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu pelajaran yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan manusia. Kerusakan alam dan tingginya zat polutan di muka bumi ini disadari atau tidak merupakan kegagalan pendidikan lingkungan yang notabene merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam.
Sistem pembelajaran IPA yang cenderung monoton dan tidak bervariasi, situasi yang cenderung membuat siswa tertekan, dan kurangnya upaya dari guru untuk memotifasi siswa menjadi alasan yang membuat pengajaran IPA kurang membekas dalam benak siswa. Sementara siswa yang pandai memiliki ketertarikan pada IPA karena pelajaran itu sulit sehingga menjadi gengsi tersendiri jika mahir dalam pelajaran tersebut. Mereka belajar IPA bukan karena memiliki kesadaran akan tanggung jawab terhadap lingkungan sebagai manifestasi dari kesadaran sebagai makhluk Tuhan, melainkan karena berkeinginan menjadi ilmuan.
Sementara itu pelajaran Pendidikan Agama dapat menjadi pengajaran yang membentuk stigma yang membekas secara permanen. Jika pengajaran IPA memasukkan aspek spiritual tentu persoalan akan menjadi lain. Dan konsep ini sebaiknya ditanamkan sejak pendidikan SD, karena merupakan pendidikan dasar.
1.Pendahuluan
Lahirnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dimulai pada saat manusia memperhatikan gejala-gejala alam, mencatatnya, dan kemudian mempelajarinya. Pengetahuan yang diperoleh mula-mula terbatas pada hasil pengamatan seadanya, kemudian semakin luas akibat dari hasil pemikirannya (Harmoni, 1992). Dengan kemampuan daya pikirnya, kemudian manusia melakukan berbagai macam eksperimen untuk membuktikan dan mencari kebenaran dari suatu pengetahuan. Sejak itulah IPA sebagai suatu ilmu pengetahuan terus berkembang.
Carin dan Sund (1970) mengklasifikasikan hasil pembelajaran IPA berdasarkan hakekat IPA sebagai produk dan proses. Sebagai produk, hasil produk, hasil belajar IPA berupa pemahaman siswa terhadap fakta, konsep, prinsip, dan hukum-hukum IPA. Sebagai proses, hasil belajar IPA berupa sikap, nilai, dan ketrampilan ilmiah. Ketrampilan ilmiah pada hakekatnya dapat dimaknai sebagai bekerja ilmiah, yaitu sebagai lingkup proses yang bertautan erat dengan konsep.
Tampaknya kita tidak dapat memungkiri bahwa pelajaran IPA merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena IPA adalah pengetahuan tentang fakta dan hukum-hukum yang didasarkan atas pengamatan dan disusun dalam suatu sistem yang teratur, yang dalam proses pengamatan tersebut kita akan banyak berinteraksi dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita.
Semua sepakat pemanasan global merupakan momok yang menakutkan bagi kehidupan bumi ini. Jika pemanasan bumi ini tidak dikurangi, kerusakan yang maha dasyat akan melanda bumi. Suhu udara semakin panas, air laut akan naik, banjir terjadi di mana-mana. Penyakit bertebaran, dan bencana lainnya akan menghampiri umat manusia, tanpa pandang bulu. Sangat disadari bahwa kerusakan di bumi ini akibat aktifitas manusia yang cenderung eksploitatif. Kecenderungan ini sebagai imbas kurangnya kesadaran spiritual berkait dengan pengetahuan akan lingkungan.
Sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), guru memiliki posisi yang menentukan keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama guru ialah merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran (Gagne, 1974). Ausubel (1968) mengatakan bahwa guru bertugas mengalihkan seperangkat pengetahuan yang terorganisasi sehingga pengetahuan itu menjadi bagian dari system pengetahuan siswa. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru mempunyai keleluasaan untuk menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didik.
2.Aspek Spiritual
Manusia diciptakan oleh Tuhannya sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik dibandingkan dengan makhluk yang lain. Untuk memahami kesempurnaan manusia, maka ada tiga potensi (unsur) dasar manusia yang harus dipelajari, yaitu: Fisik, Jiwa dan Ruh.
Potensi pertama adalah Fisik, yaitu semua yang biasa kita indera, misal manusia, rumah, mobil. Ini harus dipelajari dengan rasio manusia sehinggga melahirkan kecerdasan intelektual (IQ). Potensi fikir yang melahirkan IQ tetap harus dimiliki, karena inilah yang memberikan sentuhan pada kehidupan manusia dari aspek pemahaman ilmu dan teknologi.
Potensi kedua adalah Jiwa, yaitu kemampuan seorang untuk dapat merasakan apa yang ada pada sekelilingnya. Potensi jiwa jika dipupuk akan melahirkan sikap empati dan kepedulian akan sekitar. Sehingga tidak hanya memperhitungan keuntungan diri sendiri ketika mengukur suatu keberhasilan, melainkan adanya harmonisasi dengan lingkungan sekitar.
Potensi ketiga adalah Ruh, inilah potensi fitrah yang selalu melekat pada diri manusia, siapapun dia. Potensi ini yang menghubungkan manusia dengan penciptanya yang merupakan pemilik dan pengatur alam semesta ini. Merusak alam berarti menentang pemiliknya. Fakta di lapangan membuktikan, para perusak alam memiliki kesadaran spiritual yang rendah.
Sebagai pengalih seperangkat pengetahuan yang terorganisasikan sehingga pengetahuan itu menjadi bagian dari system pengetahuan siswa (Ausubel,1968), guru memiliki peranan strategis dan menentukan. Untuk menumbuhkan kesadaran spiritual dalam proses transformasi pengetahuan, diperlukan guru yang memiliki kesiapan dan pengetahuan yang mencukupi. Karena dalam pengajaran ini dimasukkan unsur spiritual, maka gurupun harus juga memiliki kesadaran spiritual pula agar proses tranformasi tidak berlangsung secara verbal.
Dalam buku Spiritual Teaching (Abdullah Munir) dijelaskan bahwa pengajaran spiritual terkait erat dengan system pengajaran menggunakan cinta, karenanya proses sangat penting di sini, sebab cinta adalah sesuatu yang berproses, apalagi cinta pada ilmu, butuh proses berkesinambungan di dalamnya. Cinta adalah sikap batin yang akan melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakal, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. Di sinilah tampak adanya hubungan timbal-balik antara kelembutan -bukan kelemahan!- hati seorang guru dengan tingginya prestasi anak. Seperti yang tersirat dalam firman Allah : “Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu” (Q.S. Ali Imron [3]: 159).
Reigeluth (1983) menyatakan bahwa pada hakikatnya hanya variable metode pembelajaran yang berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi oleh setiap guru dan perancang pembelajaran. Sejalan dengan ini, Degeng (1989) menyatakan, suatu metode pembelajaran seringkali hanya cocok untuk belajar tipe isi tertentu di bawah kondisi tertentu. Hal ini ini berarti bahwa untuk belajar tipe isi yang lain di bawah kondisi yang lain, diperlukan metode pembelajaran yang berbeda.
Tetapi dalam konteks pembelajaran spiritual tidak diperlukan pengubahan metode yang akan digunakan pada proses pembelajaran. Aspek spiritual di sini berfungsi untuk menegaskan akan hakekat pembelajaran IPA sebagai bentuk tanggung jawab sebagai makhluk ciptaannya. Penegasan di sini sekaligus berfungsi untuk menanamkan konsep pembelajaran IPA dalam bentuk sikap yang dalam hal ini sejalan dengan kontek pengajaran KTSP. Alwasilah (2006) mengungkapkan salah satu ciri KTSP adalah tanggap terhadap iptek dan seni, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungan. Artinya guru memiliki keleluasaan untuk menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan.
Kita semua sepakat bahwa dampak pemanasan global terhadap perubahan iklim dan berbagai bencana alam adalah akibat campur tangan manusia. Hal ini seperti tersirat dalam firman Allah “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum : 44)
Karena manusia yang mengeksplotasi alam adalah produk dunia pendidikan, maka secara tidak langsung intitusi pendidikan memiliki tanggung jawab moral di dalamnya. Pendidikan merupakan proses tranformasi pengetahuan yang bersifat estafet antar generasi, maka belum ada kata terlambat untuk membenahi diri. Dan guru memiliki peranan yang penting di dalamnya.
3. Pengajaran IPA Di Sekolah Dasar.
Mata pelajaran IPA di sekolah dasar (SD) merupakan salah satu objek pelajaran yang harus dipelajari siswa. Karenanya, akan terjadi kecenderungan sikap dalam diri siswa terhadap mata pelajaran tersebut, baik yang positif maupun yang negatif. Yang positif cenderung akan menempuh usaha belajar dengan keras, mempunyai intensitas belajar yang tinggi, dan penuh konsentrasi terhadap pembelajaran IPA. Sebaliknya, yang negatif cenderung tidak akan menunjukkan kesungguhan dalam belajar. Oleh karena itu, salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembelajaran IPA di sekolah adalah bergantung pada sumber daya siswa yang berproses dalam pembelajaran. Artinya, penguasaan IPA tergantung dari tingkat kemampuan siswa menerimanya.
Carin dan Sund (1970) mengklasifikasikan hasil pembelajaran IPA berdasarkan hakekat IPA sebagai produk dan proses. Sebagai produk, hasil belajar IPA berupa pemahaman siswa terhadap fakta, konsep, prinsip, dan hukum-hukum IPA. Sebagai proses, hasil belajar IPA berupa sikap, nilai, dan ketrampilan ilmiah. Ketrampilan ilmiah pada hakekatnya dapat dimaknai sebagai bekerja ilmiah. Dalam arti lain, ketrampilan ilmiah juga merupakan bekerja ilmiah, yaitu sebagai lingkup proses yang bertautan erat dengan konsep. Bekerja ilmiah tidak sekedar mengumpulkan fakta, mengumpulkan teori, atau proses mental dan ketrampilan manipulatif, namun merupakan cara-cara memahami gejala alam yang terus berkembang.
Belajar IPA yang diharapkan di SD ialah agar siswa: (1) mengembangkan rasa ingin tahu dan suatu sikap positif terhadap IPA, teknologi, dan masyarakat; (2) mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan; (3) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang akan bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; (4) mengembangkan kesadaran tentang peran dan pentingnya IPA dalam kehidupan sehari-hari; (5) mengalihgunakan pengetahuan, ketrampilan, dan pemahaman ke bidang pengajaran lainnya; (6) ikut serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam; dan (7) menghargai berbagai macam bentuk ciptaan Tuhan di alam semesta ini untuk dipelajari dan dimanfaatkan lebih lanjut (Pusat Kurikulum, 2002). Dari serangkaian tujuan ini tampak jelas bahwa dalam mempelajari IPA, siswa SD hendaknya ditekankan pada cara belajar dengan berbuat (learnig by doing) dan mengharuskan untuk dilakukan kegiatan secara terintegrasi dalam pembelajaran.
Pada poin enam dan tujuh dari tujuan pembelajaran IPA di SD tersirat jelas bahwa pembelajaran IPA berkait erat dengan kesadaran spiritual sebagai umat Tuhan untuk ikut serta memelihara alam dan menghargai berbagai macam bentuk ciptaanNya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah guru telah melaksanakan pembelajaran secara konsisten dan konsekuen? Di sisi lain buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah dasar hampir semuanya tidak pernah mengaitkan materi pembelajaran IPA dengan konsep spiritual. Sementara bagi guru yang kurang memahami tujuan kurikulum cenderung menyampaikan materi secara lugas seperti yang termuat dalam buku.
4.Alternatif Metode Pengajaran dengan Metafora dalam Pengajaran IPA
Salah satu alternatif penyajian materi yang ditawarkan dalam rangka pembelajaran dengan menggunakan konsep spiritual adalah pembelajaran dengan menggunakan metafora. Baik di awal, pertengahan, ataupun di akhir pembelajaran, dengan tujuan untuk mendongkrak minat dan motivasi siswa sebagai pembelajar. Metafora yang dimaksud adalah dengan menghadirkan cerita tentang tokoh-tokoh yang menerima penghargaan lingkungan, pengusaha sukses yang peduli lingkungan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, atau menghadirkan tokoh agama yang menguasai sain dan teknologi.
Menurut Dahar (2004), selama ini pengajaran IPA kurang memperhatikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan nyata. Siswa SD sebaiknya diajar bagaimana menghubungkan IPA dengan kehidupan nyata yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekal ini, mereka merasakan kegunaan pelajaran IPA yang selama ini mereka peroleh. Bila siswa ikut melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan masalah-masalah itu, siswa mengetahui mengapa atau untuk apa mereka mengerjakan hal itu.
Penggunaan metafora memungkinkan anak mengandaikan dirinya dengan tokoh yang dipersonakan. Hal ini membuat siswa mampu menjelajah alam kehidupan dengan dirinya sebagai subyek atau pelaku. Pengajaran dengan sistem metafora sendiri selama ini lazim digunakan dalam ceramah-ceramah keagamaan yang terbukti efektif menanamkan nilai secara stigmatis sehingga membekas permanen.
Di atas sudah dijelaskan, Reigeluth (1983) menyatakan bahwa pada hakikatnya hanya variable metode pembelajaran yang berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi oleh setiap guru dan perancang pembelajaran. Sejalan dengan ini, Degeng (1989) menyatakan, suatu metode pembelajaran seringkali hanya cocok untuk belajar tipe isi tertentu di bawah kondisi tertentu. Hal ini ini berarti bahwa untuk belajar tipe isi yang lain di bawah kondisi yang lain, diperlukan metode pembelajaran yang berbeda. Jadi, tidaklah salah jika metafora digunakan sebagai salah satu bentuk alternatif metode pengajaran yang mempunyai tipe isi aspek spiritual, dengan asumsi metode ini efektif pada pengajaran agama yang terbukti mampu memunculkan nilai stigmatis permanen.
5. Kesimpulan dan Saran
Dengan memperhatikan uraian di atas, dipandang perlu adanya pemikiran ulang mengenai kebiasaan para pengajar dalam menyampaikan materi pelajaran. Apakah selama ini melupakan betapa pentingnya pengajaran dengan memasukkan unsur spiritual di dalamnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah untuk membentuk masyarakat madani. Lagipula tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan unsur yang sangat penting dalam situasi global saat ini yang ditandai dengan makin merosotnya moral generasi muda.
Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan IPA, diharapkan ke depannya para pengajar IPA menjadikan metafora sebagai alternatif pembelajaran berkonsep spiritual. Guru sangat berperan di sini, karena gurulah yang menjadi agen penentu pada tercapainya tujuan penbelajaran.
Ke depan diharapkan ada penelitian tindakan kelas yang mengacu pada tingkat keberhasilan pembelajaran IPA dengan konsep spiritual. Karena tulisan ini masih berupa wanaca sehingga diperlukan tindak lanjut untuk mengukur keakuratannya. Penulis mengharap masukan dari berbagai pihak untuk melakukan berbagai perbaikan. Sekali lagi semuanya berpulang pada waktu.
Sistem pembelajaran IPA yang cenderung monoton dan tidak bervariasi, situasi yang cenderung membuat siswa tertekan, dan kurangnya upaya dari guru untuk memotifasi siswa menjadi alasan yang membuat pengajaran IPA kurang membekas dalam benak siswa. Sementara siswa yang pandai memiliki ketertarikan pada IPA karena pelajaran itu sulit sehingga menjadi gengsi tersendiri jika mahir dalam pelajaran tersebut. Mereka belajar IPA bukan karena memiliki kesadaran akan tanggung jawab terhadap lingkungan sebagai manifestasi dari kesadaran sebagai makhluk Tuhan, melainkan karena berkeinginan menjadi ilmuan.
Sementara itu pelajaran Pendidikan Agama dapat menjadi pengajaran yang membentuk stigma yang membekas secara permanen. Jika pengajaran IPA memasukkan aspek spiritual tentu persoalan akan menjadi lain. Dan konsep ini sebaiknya ditanamkan sejak pendidikan SD, karena merupakan pendidikan dasar.
1.Pendahuluan
Lahirnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dimulai pada saat manusia memperhatikan gejala-gejala alam, mencatatnya, dan kemudian mempelajarinya. Pengetahuan yang diperoleh mula-mula terbatas pada hasil pengamatan seadanya, kemudian semakin luas akibat dari hasil pemikirannya (Harmoni, 1992). Dengan kemampuan daya pikirnya, kemudian manusia melakukan berbagai macam eksperimen untuk membuktikan dan mencari kebenaran dari suatu pengetahuan. Sejak itulah IPA sebagai suatu ilmu pengetahuan terus berkembang.
Carin dan Sund (1970) mengklasifikasikan hasil pembelajaran IPA berdasarkan hakekat IPA sebagai produk dan proses. Sebagai produk, hasil produk, hasil belajar IPA berupa pemahaman siswa terhadap fakta, konsep, prinsip, dan hukum-hukum IPA. Sebagai proses, hasil belajar IPA berupa sikap, nilai, dan ketrampilan ilmiah. Ketrampilan ilmiah pada hakekatnya dapat dimaknai sebagai bekerja ilmiah, yaitu sebagai lingkup proses yang bertautan erat dengan konsep.
Tampaknya kita tidak dapat memungkiri bahwa pelajaran IPA merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena IPA adalah pengetahuan tentang fakta dan hukum-hukum yang didasarkan atas pengamatan dan disusun dalam suatu sistem yang teratur, yang dalam proses pengamatan tersebut kita akan banyak berinteraksi dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita.
Semua sepakat pemanasan global merupakan momok yang menakutkan bagi kehidupan bumi ini. Jika pemanasan bumi ini tidak dikurangi, kerusakan yang maha dasyat akan melanda bumi. Suhu udara semakin panas, air laut akan naik, banjir terjadi di mana-mana. Penyakit bertebaran, dan bencana lainnya akan menghampiri umat manusia, tanpa pandang bulu. Sangat disadari bahwa kerusakan di bumi ini akibat aktifitas manusia yang cenderung eksploitatif. Kecenderungan ini sebagai imbas kurangnya kesadaran spiritual berkait dengan pengetahuan akan lingkungan.
Sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), guru memiliki posisi yang menentukan keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama guru ialah merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran (Gagne, 1974). Ausubel (1968) mengatakan bahwa guru bertugas mengalihkan seperangkat pengetahuan yang terorganisasi sehingga pengetahuan itu menjadi bagian dari system pengetahuan siswa. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru mempunyai keleluasaan untuk menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didik.
2.Aspek Spiritual
Manusia diciptakan oleh Tuhannya sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik dibandingkan dengan makhluk yang lain. Untuk memahami kesempurnaan manusia, maka ada tiga potensi (unsur) dasar manusia yang harus dipelajari, yaitu: Fisik, Jiwa dan Ruh.
Potensi pertama adalah Fisik, yaitu semua yang biasa kita indera, misal manusia, rumah, mobil. Ini harus dipelajari dengan rasio manusia sehinggga melahirkan kecerdasan intelektual (IQ). Potensi fikir yang melahirkan IQ tetap harus dimiliki, karena inilah yang memberikan sentuhan pada kehidupan manusia dari aspek pemahaman ilmu dan teknologi.
Potensi kedua adalah Jiwa, yaitu kemampuan seorang untuk dapat merasakan apa yang ada pada sekelilingnya. Potensi jiwa jika dipupuk akan melahirkan sikap empati dan kepedulian akan sekitar. Sehingga tidak hanya memperhitungan keuntungan diri sendiri ketika mengukur suatu keberhasilan, melainkan adanya harmonisasi dengan lingkungan sekitar.
Potensi ketiga adalah Ruh, inilah potensi fitrah yang selalu melekat pada diri manusia, siapapun dia. Potensi ini yang menghubungkan manusia dengan penciptanya yang merupakan pemilik dan pengatur alam semesta ini. Merusak alam berarti menentang pemiliknya. Fakta di lapangan membuktikan, para perusak alam memiliki kesadaran spiritual yang rendah.
Sebagai pengalih seperangkat pengetahuan yang terorganisasikan sehingga pengetahuan itu menjadi bagian dari system pengetahuan siswa (Ausubel,1968), guru memiliki peranan strategis dan menentukan. Untuk menumbuhkan kesadaran spiritual dalam proses transformasi pengetahuan, diperlukan guru yang memiliki kesiapan dan pengetahuan yang mencukupi. Karena dalam pengajaran ini dimasukkan unsur spiritual, maka gurupun harus juga memiliki kesadaran spiritual pula agar proses tranformasi tidak berlangsung secara verbal.
Dalam buku Spiritual Teaching (Abdullah Munir) dijelaskan bahwa pengajaran spiritual terkait erat dengan system pengajaran menggunakan cinta, karenanya proses sangat penting di sini, sebab cinta adalah sesuatu yang berproses, apalagi cinta pada ilmu, butuh proses berkesinambungan di dalamnya. Cinta adalah sikap batin yang akan melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakal, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. Di sinilah tampak adanya hubungan timbal-balik antara kelembutan -bukan kelemahan!- hati seorang guru dengan tingginya prestasi anak. Seperti yang tersirat dalam firman Allah : “Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu” (Q.S. Ali Imron [3]: 159).
Reigeluth (1983) menyatakan bahwa pada hakikatnya hanya variable metode pembelajaran yang berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi oleh setiap guru dan perancang pembelajaran. Sejalan dengan ini, Degeng (1989) menyatakan, suatu metode pembelajaran seringkali hanya cocok untuk belajar tipe isi tertentu di bawah kondisi tertentu. Hal ini ini berarti bahwa untuk belajar tipe isi yang lain di bawah kondisi yang lain, diperlukan metode pembelajaran yang berbeda.
Tetapi dalam konteks pembelajaran spiritual tidak diperlukan pengubahan metode yang akan digunakan pada proses pembelajaran. Aspek spiritual di sini berfungsi untuk menegaskan akan hakekat pembelajaran IPA sebagai bentuk tanggung jawab sebagai makhluk ciptaannya. Penegasan di sini sekaligus berfungsi untuk menanamkan konsep pembelajaran IPA dalam bentuk sikap yang dalam hal ini sejalan dengan kontek pengajaran KTSP. Alwasilah (2006) mengungkapkan salah satu ciri KTSP adalah tanggap terhadap iptek dan seni, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungan. Artinya guru memiliki keleluasaan untuk menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan.
Kita semua sepakat bahwa dampak pemanasan global terhadap perubahan iklim dan berbagai bencana alam adalah akibat campur tangan manusia. Hal ini seperti tersirat dalam firman Allah “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum : 44)
Karena manusia yang mengeksplotasi alam adalah produk dunia pendidikan, maka secara tidak langsung intitusi pendidikan memiliki tanggung jawab moral di dalamnya. Pendidikan merupakan proses tranformasi pengetahuan yang bersifat estafet antar generasi, maka belum ada kata terlambat untuk membenahi diri. Dan guru memiliki peranan yang penting di dalamnya.
3. Pengajaran IPA Di Sekolah Dasar.
Mata pelajaran IPA di sekolah dasar (SD) merupakan salah satu objek pelajaran yang harus dipelajari siswa. Karenanya, akan terjadi kecenderungan sikap dalam diri siswa terhadap mata pelajaran tersebut, baik yang positif maupun yang negatif. Yang positif cenderung akan menempuh usaha belajar dengan keras, mempunyai intensitas belajar yang tinggi, dan penuh konsentrasi terhadap pembelajaran IPA. Sebaliknya, yang negatif cenderung tidak akan menunjukkan kesungguhan dalam belajar. Oleh karena itu, salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembelajaran IPA di sekolah adalah bergantung pada sumber daya siswa yang berproses dalam pembelajaran. Artinya, penguasaan IPA tergantung dari tingkat kemampuan siswa menerimanya.
Carin dan Sund (1970) mengklasifikasikan hasil pembelajaran IPA berdasarkan hakekat IPA sebagai produk dan proses. Sebagai produk, hasil belajar IPA berupa pemahaman siswa terhadap fakta, konsep, prinsip, dan hukum-hukum IPA. Sebagai proses, hasil belajar IPA berupa sikap, nilai, dan ketrampilan ilmiah. Ketrampilan ilmiah pada hakekatnya dapat dimaknai sebagai bekerja ilmiah. Dalam arti lain, ketrampilan ilmiah juga merupakan bekerja ilmiah, yaitu sebagai lingkup proses yang bertautan erat dengan konsep. Bekerja ilmiah tidak sekedar mengumpulkan fakta, mengumpulkan teori, atau proses mental dan ketrampilan manipulatif, namun merupakan cara-cara memahami gejala alam yang terus berkembang.
Belajar IPA yang diharapkan di SD ialah agar siswa: (1) mengembangkan rasa ingin tahu dan suatu sikap positif terhadap IPA, teknologi, dan masyarakat; (2) mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan; (3) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang akan bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; (4) mengembangkan kesadaran tentang peran dan pentingnya IPA dalam kehidupan sehari-hari; (5) mengalihgunakan pengetahuan, ketrampilan, dan pemahaman ke bidang pengajaran lainnya; (6) ikut serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam; dan (7) menghargai berbagai macam bentuk ciptaan Tuhan di alam semesta ini untuk dipelajari dan dimanfaatkan lebih lanjut (Pusat Kurikulum, 2002). Dari serangkaian tujuan ini tampak jelas bahwa dalam mempelajari IPA, siswa SD hendaknya ditekankan pada cara belajar dengan berbuat (learnig by doing) dan mengharuskan untuk dilakukan kegiatan secara terintegrasi dalam pembelajaran.
Pada poin enam dan tujuh dari tujuan pembelajaran IPA di SD tersirat jelas bahwa pembelajaran IPA berkait erat dengan kesadaran spiritual sebagai umat Tuhan untuk ikut serta memelihara alam dan menghargai berbagai macam bentuk ciptaanNya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah guru telah melaksanakan pembelajaran secara konsisten dan konsekuen? Di sisi lain buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah dasar hampir semuanya tidak pernah mengaitkan materi pembelajaran IPA dengan konsep spiritual. Sementara bagi guru yang kurang memahami tujuan kurikulum cenderung menyampaikan materi secara lugas seperti yang termuat dalam buku.
4.Alternatif Metode Pengajaran dengan Metafora dalam Pengajaran IPA
Salah satu alternatif penyajian materi yang ditawarkan dalam rangka pembelajaran dengan menggunakan konsep spiritual adalah pembelajaran dengan menggunakan metafora. Baik di awal, pertengahan, ataupun di akhir pembelajaran, dengan tujuan untuk mendongkrak minat dan motivasi siswa sebagai pembelajar. Metafora yang dimaksud adalah dengan menghadirkan cerita tentang tokoh-tokoh yang menerima penghargaan lingkungan, pengusaha sukses yang peduli lingkungan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, atau menghadirkan tokoh agama yang menguasai sain dan teknologi.
Menurut Dahar (2004), selama ini pengajaran IPA kurang memperhatikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan nyata. Siswa SD sebaiknya diajar bagaimana menghubungkan IPA dengan kehidupan nyata yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekal ini, mereka merasakan kegunaan pelajaran IPA yang selama ini mereka peroleh. Bila siswa ikut melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan masalah-masalah itu, siswa mengetahui mengapa atau untuk apa mereka mengerjakan hal itu.
Penggunaan metafora memungkinkan anak mengandaikan dirinya dengan tokoh yang dipersonakan. Hal ini membuat siswa mampu menjelajah alam kehidupan dengan dirinya sebagai subyek atau pelaku. Pengajaran dengan sistem metafora sendiri selama ini lazim digunakan dalam ceramah-ceramah keagamaan yang terbukti efektif menanamkan nilai secara stigmatis sehingga membekas permanen.
Di atas sudah dijelaskan, Reigeluth (1983) menyatakan bahwa pada hakikatnya hanya variable metode pembelajaran yang berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi oleh setiap guru dan perancang pembelajaran. Sejalan dengan ini, Degeng (1989) menyatakan, suatu metode pembelajaran seringkali hanya cocok untuk belajar tipe isi tertentu di bawah kondisi tertentu. Hal ini ini berarti bahwa untuk belajar tipe isi yang lain di bawah kondisi yang lain, diperlukan metode pembelajaran yang berbeda. Jadi, tidaklah salah jika metafora digunakan sebagai salah satu bentuk alternatif metode pengajaran yang mempunyai tipe isi aspek spiritual, dengan asumsi metode ini efektif pada pengajaran agama yang terbukti mampu memunculkan nilai stigmatis permanen.
5. Kesimpulan dan Saran
Dengan memperhatikan uraian di atas, dipandang perlu adanya pemikiran ulang mengenai kebiasaan para pengajar dalam menyampaikan materi pelajaran. Apakah selama ini melupakan betapa pentingnya pengajaran dengan memasukkan unsur spiritual di dalamnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah untuk membentuk masyarakat madani. Lagipula tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan unsur yang sangat penting dalam situasi global saat ini yang ditandai dengan makin merosotnya moral generasi muda.
Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan IPA, diharapkan ke depannya para pengajar IPA menjadikan metafora sebagai alternatif pembelajaran berkonsep spiritual. Guru sangat berperan di sini, karena gurulah yang menjadi agen penentu pada tercapainya tujuan penbelajaran.
Ke depan diharapkan ada penelitian tindakan kelas yang mengacu pada tingkat keberhasilan pembelajaran IPA dengan konsep spiritual. Karena tulisan ini masih berupa wanaca sehingga diperlukan tindak lanjut untuk mengukur keakuratannya. Penulis mengharap masukan dari berbagai pihak untuk melakukan berbagai perbaikan. Sekali lagi semuanya berpulang pada waktu.
*Widiastuti Sri Rejeki,S.Pd. adalah guru di SD Proyonanggan 03 Batang
terimakasih telah mampir di blog kami....
BalasHapussalam....